1 Filsafat Analitik
1.1 Kesalahpahaman umum tentang Kondisional.
Sewaktu saya mencoba untuk membantu mengajarkan logika formal ke kawan-kawan saya, saya menanyakan 2 hal berikut.
Contoh kasus pertama: Misal, ada seorang yang berucap seperti berikut. "Jika saya lolos test masuk Universitas X, maka saya akan adakan acara makan-makan." Pertanyaannya adalah, apabila orang tersebut lolos testnya, dan tidak mengadakan acara makan-makan, apakah orang tersebut berbohong?
Sampai di sini, banyak kawan saya yang benar. Mereka mengatakan bahwa orang tersebut telah ingkar akan janjinya untuk mengadakan acara makan-makan atas lolosnya ia di test tersebut. Lalu selanjutnya, saya menanyakan contoh kasus kedua.
Contoh kasus kedua: Misal, ada orang tua yang berkata ke anaknya seperti berikut. "Jika nilaimu buruk, maka kamu tidak dibelikan game console." Konteks: Buruk yang dimaksud di sini adalah rapotnya ada yang dapat C dan dibawahnya Kemudian, nilai rapot dari anak tersebut ternyata sangat baik (banyak A, sedikit B, tidak ada C, D dan E), namun orang tuanya tetap tidak membelikannya game console. Pertanyaannya adalah, apakah orang tuanya berbohong?
Hampir semua kawan saya berpendapat bahwa orang tuanya berbohong. Dan mereka lebih kaget lagi sewaktu saya berkata bahwa orang tuanya tidak berbohong.
Bagi saya, ada yang luput dari pendidikan kita saat memahamkan peserta didik tentang Logika Matematika:
- Kondisional dipahamkan sebagai kausalitas. Padahal cukuplah kita mengartikannya sebagai "apabila antesedennya benar, maka konsekuensinya benar".
- Kondisional tidak dipahamkan sebagai subset. Atau dituliskan dengan notasi simbolik \(P \subseteq Q\) atau \( {\forall x, x \in P \to x \in Q} \)
- Tidak membahas secara rinci mengenai perbedaan antara Kondisional dan Bikondisional serta dampaknya terhadap cara berbahasa.
Pada kasus pertama, kondisional terlihat seperti kausalitas. Padahal tidak seperti itu. Yang luput dari kebanyakan kawan saya sewaktu melihat kasus ini adalah mereka lupa memikirkan hal berikut: "Apabila orang tersebut mengadakan acara makan-makan, apakah berarti dia lolos testnya?" Padahal jawabannya adalah "Belum tentu". Bisa saja dia mengadakan acara makan-makan justru karena baru saja mendapatkan pekerjaan, baru saja membeli rumah, dsb. Ingatlah, lolos test hanyalah subset1 dari sekian banyak kemungkinan dari orang tersebut mengadakan acara makan-makan.
Kembali ke kasus nilai rapot, kita akan mensimbolisasikan "nilai rapot jelek" sebagai \(P\) dan "tidak dibelikan game console" sebagai \(Q\). Di saat kita memikirkan subset (\(P \subseteq Q\)), apabila yang terjadi adalah \(\neg P\), maka tentunya ada kemungkinan lain dimana ia tetap bagian dari \(Q\) tanpa harus menjadi bagian dari himpunan \(P\).
Orang-orang yang saya temui umumnya memiliki pemahaman mengenai "jika … maka …" dengan interpretasi sebagai Bikondisional. Sama halnya dengan contoh kasus permisalan yang tadi. Orang tua dari si anak tersebut menggunakan "jika … maka …" dengan interpretasi bahwa kalimat yang ia ucapkan adalah kondisional. Dengan kata lain, kalimat dari orang tua si anak tersebut memnuhi kondisi "jika mendapatkan game console, maka nilai rapotmu bagus". Ingatlah \(P \to Q\) ekuivalen dengan \(\neg Q \to \neg P\). Akan ada kemungkinan subset lain selain "mendapatkan game console" untuk tetap berada di dalam himpunan "nilai rapot yang bagus". Sedangkan anaknya, dengan penuh kecewa menganggap orang tuanya berbohong dikarenakan ia menginterpretasikan kalimat tersebut sebagai bikondisional.
Mungkin sudah saatnya kita mulai menggunakan istilah "… jika dan hanya jika …" lebih sering, atau mungkin kita perlu membuat singkatan seperti "iff"2 di Bahasa Indonesia.
Berhati-hatilah dalam menuliskan dan mengutarakan sesuatu hal. Gunakanlah "… jika dan hanya jika …" apabila memang itu yang anda maksud.
1.2 Permasalahan Translasi: Apakah antonim sama dengan negasi?
Katakanlah, "X is happy."
Lalu saya ubah kalimat berbahasa Inggris tersebut menjadi kalimat TFL berikut:
\(H : X \: is \: happy\)
Di saat saya katakan \(\neg H\), maka TFLnya adalah:
\(\neg H : X \: is \: not \: happy\)
atau bisa direpresentasikan sebagai,
\(\neg H : It \: is \: not \: the \: case \: that \: X \: is \: happy\)
Dan kita memerlukan kalimat TFL yang baru di saat kita memrepresentasikan "X is unhappy".
Pertanyaannya adalah:
- Apakah antonim sama dengan negasi? (TODO: baca lebih lanjut StackExchange berikut3)
- Lantas apabila di Bahasa Indonesia, apa translasi (yang nyaris presisi) dari "not happy" dan "unhappy" ?
- Masih yang berhubungan dengan pertanyaan ke-2, katakanlah terjemahan dari "happy" adalah bahagia, maka translasi apa yang tepat dari kata "not happy"?
- Apakah marah?
- Apakah sedih?
- Ataukah itu merupakan tanda ketidaksetujuan?